AL – JARHUWAT’DIL
BY : ERWIN NOGORI
A.
Cara
Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari
sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa
ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan
proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad
Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu
apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan
penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu
hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya
tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan
dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun
yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk
mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم
يكن تستقيم اللسان
“ Tidak
adanya
keteguhan dalam berbicara”
4.
Bersifat
Global dalam menta’dil
dan
terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab
dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah
atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka
mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak
disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya
sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima
haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak
ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk
mengetahui ‘adilnya’
seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:[15]
1. Melalui popularitas keadilan
perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal
sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka
tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya
seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula
belum dikenal keadilannya.
Adapun
untuk mengetahui kecacatan
juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang
disebutkan di atas.
B.
Sebab-sebab
Perawi dikenakan Jarh dan ta’dil dan syarat seorang kritikus
Menurut
Ibn Hajar al-Asqolani,
sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi
itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima
macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan
tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah
adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang
difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka
yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad)
yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi
periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan
haditsnya syadz atau munkar.
3. Yang dimaksud dengan ghalath
ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak
dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah
haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’
ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa
perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat
perjalanan (pekerjaan)
melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut
nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya
suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang
melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan,
yakni:
1. Haruslah orang tersebut ‘âlim
(berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi
perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan
dan untuk men-tajrihkan.
Apabila
persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
C.
Tingkatan
dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang
dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan
tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan
lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh
dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai
dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi.
Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib,
mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
a.
Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang
tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan
menggunakan lafal-lafal sebagai berikut
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط
النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang
yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ
أَوْ
عَنْ مِثْلِهِ
(si
fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi
keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ,
ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya
lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan
hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل
ضابطثبت
(kokoh,
sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو
(benar,
jujur, tidak ada masalah).
Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan
ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح,
صدوق إن شاء الله
(syeikh,
tidak jauh dari benar, gak
baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati
jarh.
Para
ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat
pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara
untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang
perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai
penguatnya
b. Tingkatan
lafadz al-Jarh. Berikut
ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling
berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan
perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس،
ركن الكذب
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang
dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
memang
sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan
misalnya: كذاب, وضاع
)pendusta, pengada-ada)
meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang
pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang
menunjukan bahwa bahwa perawi
dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ
بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ
بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
(tertuduh
dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang
menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ
حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ,
ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
(ditolak
Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan
Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi
itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz
yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ،
لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ،
ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ
(goncang
hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi,
namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق
منه ليس بذلك القوي, فيه مقا
ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, غير أو
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak
termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari
padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis
yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi
yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada
hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal
tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan
1. Pertentangan
Jarh dan Ta’dil
Diantara
para ulama terkadang
terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu
menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya.
Apabila
dipilih permasalahan di atas
maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu
diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui
sebabnya.
Adapun
terhadap kategori yang
pertama, sebab-sebab terjadinya:
1.
Terkadang
sebagian ulama
mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih
(mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu
setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut
Ajaj al-Khatib. sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya
jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang
mengetahui
perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih
perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai
oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun
dalam hal sebab-sebab
pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat
dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat
ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan
ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil
meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih.
Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang
mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi
yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil
2. Ta’dil didahulukan dari jarh
apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena
banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian
ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun
mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling
bertentangan
maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya,
dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai
diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh,
karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi
jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan
diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
Menurut
Ajaz al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik
mutaqaddimin maupun mutaakhirin.
Kitab-Kitab yang membahas Tentang
Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh
wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar
orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah
dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada
Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan
secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan
para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode
yang berlainan :
·
Sebagian
di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya.
·
Sebagian
lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
·
dan
sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai
oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf
kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada
mereka :
·
Kitab
Ma’rifatur-Rijaal,
karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa
manuskrip.
·
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di
India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath,
dan Ash-Shaghiir].
·
Kitab
Ats-Tsiqaat,
karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H),
manuskrip.
·
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin,
karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H),
manuskrip.
·
Kitaab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr
Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
·
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin,
karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India
bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
·
Kitab
Adl-Dlu’afaa’,
karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun
322 H), manuskrip.
·
Kitab
Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun
354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
·
Kitab
At-Tarikhul-Kabiir,
karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi
sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
·
Kitab
Al-Jarh wat-Ta’dil,
karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di
antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang
sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak
perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para
perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang
mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
·
Kitab
Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady
Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
·
Kitab
Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu
minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat
tahun 385 H), manuskrip.
·
Kitab
Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad
Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari;
manuskrip.
·
Kitab
At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin
Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
·
Kitab
At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi
(wafat tahun 416 H); manuskrip.
·
Kitab
Rijaal Shahih Muslim,
karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H);
manuskrip.
·
Kitab
Rijal Al-Bukhari wa Muslim,
karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
·
Kitab
Rijaal Al-Bukhari wa Muslim,
karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
·
Kitab
Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy
(wafat tahun 507 H); dicetak.
Komentar
Posting Komentar